Kali ini, kita akan sedikit berkenalan dengan sebuah buku yang berjudul Kiat Menjadi Guru Keluarga. Buku ini ditulis oleh Dr. Adian Husaini. Seorang tokoh intelektual muslim yang memiliki perhatian serius terhadap dunia pendidikan.Buku ini memang tipis. But, don’t judge a book by its size! Dengan ketebalan ‘hanya’ 102 halaman, Dr. Adian Husaini berusaha membuka mata hati para orangtua untuk menyadari besarnya tanggung jawab yang mereka emban dalam menjaga amanah titipan Allah: anak-anak.Anggapan umum yang ada di tengah kita selama ini, jika orangtua telah mencukupi nafkah anak dan membiayai pendidikan mereka di sekolah favorit, tanggung jawab orangtua telah purna. Padahal, itu keliru. Tetap saja, tanggung jawab pendidikan ada di pundak orangtua. Utamanya ayah sebagai kepala keluarga.Problem umat Islam, menurut beliau, akan teratasi dengan tuntas ketika setiap orangtua sadar akan arti penting menjadi orangtua. Yaitu, selain memenuhi kebutuhan fisik, tugas orangtua yang lebih utama sebenarnya adalah menjadi pendidik buat anak-anaknya.Sekolah-sekolah kita, bahkan perguruan tinggi kita di Indonesia, kritik beliau, didesain lebih cenderung untuk melahirkan pekerja. Belum ada yang bervisi untuk mendesain dan melahirkan orangtua yang baik: ibu dan bapak yang shalih dan shalihah yang akan melahirkan generasi pejuang. Singkat kata, orangtua sebagai ‘guru keluarga’, tidak ada yang secara sengaja disiapkan lewat pendidikan formal di Indonesia.Bahkan, untuk perguruan tinggi Islam pun, kata beliau, program studi seperti Ushuluddin, Tafsir Hadits, Syariah dan yang sejenisnya masih kental diwarnai oleh tujuan untuk mendapat pekerjaan. Jadi, ada semacam kekacauan ‘orientasi ilmu’. Ilmu dicari bukan dalam semangat agar dapat mengenal Allah, mengamalkannya dalam wujud, lalu menyebarkannya kepada orang lain. Tapi, seringkali, ilmu dicari untuk dipertaruhkan kepada nilai-nilai duniawi. Beliau mengutip hadits Nabi,مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ“Barangsiapa menuntut ilmu supaya bisa menyaingi ulama atau supaya bisa menang debat dengan orang-orang bodoh atau supaya bisa menarik perhatian orang, maka Allah akan memasukkannya ke enraka.” (HR. At-Tirmidzi)Di bagian pertama buku ini, beliau mengajak orangtua untuk menyadari peran diri sebagai pendidik utama bagi anak-anak. Orangtualah yang membangun keyakinan dalam hati anak, orangtua pula yang membentuk karakter atau akhlak dasar anak. Intinya, orangtua adalah pihak paling bertanggung jawab atas masa depan dunia-akhirat anak. Rasulullah menyatakan, “Setiap anak terlahir di atas fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR. Al-Bukhari)Di bagian kedua, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini menulis bahwa adab adalah hal utama yang harus ditanam pada diri anak. Dalam konsep pendidikan Islam, yang dilakukan Rasulullah dahulu adalah melahirkan manusia-manusia beradab, insan adabi. Manusia beradab ini, apapun profesinya, mereka akan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dia akan setia pada ilmu, mudah mengajak dan diajak melakukan kebajikan.Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. M. Naquib Al-Attas, seorang ilmuwan Muslim yang dikenal sebagai perumus konsep adab dan ta’dib di dunia Islam kontemporer, problem utama umat Islam hari ini adalah “the loss of adab” atau hilangnya adab.Adab dimensinya sangat luas. Bukan hanya soal tutur kata yang lemah-lembut, sikap sopan-santun, atau kerendahan hati semata. Tapi, konsep adab ini menyangkut soal tata-letak hak dan kewajiban seorang manusia terhadap Penciptanya, agamanya, nabinya, makhluk sesamanya, bahkan terhadap alam. Maka, tafsiran Al-Attas lebih lanjut soal the loss of adab adalah the loss of discipline—the discipline of body, mind and soul (hilang kedisiplinan—disiplin tubuh [fisik], disiplin pikiran, dan disiplin jiwa). Yang, pada akhirnya berimbas di semua lini kehidupan umat.Menanam adab itu lama prosesnya, maka butuh ketelatenan. Yang lebih pokok adalah keteladaan orangtua kepada anaknya. Di sinilah peran keluarga. Penanaman adab yang paling dominan ada dalam lingkungan keluarga. Adab sebagai inti pendidikan Islam, harus mendapat porsi perhatian paling besar. Sebab, adab ini adalah wujud nyata, bukti tampak mata dari kualitas iman dalam diri seorang Muslim.Dikutip dalam buku ini, ungkapan KH Hasyim Asy’ari, “Barangsiapa yang tidak beradab, maka tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.” Begitu pentingnya masalah adab ini, hingga Rasulullah katakan,أَكْرِمُوْا أَوْلاَدَكُمْ وَأَحْسِنُوْا أَدَبَهُمْ“Muliakanlah anak-anak kalian dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibnu Majah)Dr. Adian Husaini juga menyatakan, “Jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka; dimulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.”Di bagian ketiga, Dr. Adian Husaini mengajak pembaca untuk mulai ‘bergerak’ dan memulai perubahan besar. Yaitu, mencetak generasi pejuang. Yang menurut beliau, itu semua diawali dari keluarga. Ungkap beliau, “Pendidikan adab dalam keluarga adalah dasar kebangkitan diri dan umat Islam secara keseluruhan, untuk mewujudkan peradaban Islam.”Pada bagian keempat, beliau mengajak pembaca untuk melihat tantangan eksternal yang menghambat kemajuan umat. Saat ini, musuh besar eksternal umat Islam adalah peradaban Barat yang anti-agama. Betul, anti-agama. Bukan hanya anti-Islam. Semua agama mereka musuhi. Barat sangat sekular. “Tuhan” telah dibunuh di Barat.Menurut penulis, antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental. Sehingga, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekular, akan berujung pada pemusnahan Islam.Di bagian kelima, doktor di bidang Peradaban Islam lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia ini mengajak kita untuk menelusur kembali ke persoalan ilmu. Kita diajak untuk selalu meningkatkan ilmu setiap waktu. Tetapi, ilmu yang bukan sembarang ilmu. Yaitu, ilmu-ilmu yang sarat manfaat, yang menjadi pijakan amal berkualitas, yang membawa keselamatan dunia-akhirat.Hari ini, terjadi kekacauan dalam tatanan keilmuan di dunia Islam. Setiap pendidik harus memperhatikan kembali soal ilmu. Kalau ilmu keliru, maka amal akan ikut keliru. Sebab ilmu adalah faktor penggerak dan pengarah amal dan segala tindakan manusia. Nilai manusia ditentukan oleh ilmu macam apa yang mendominasi alam pikirannya.Islam mengajarkan prioritas ilmu yang didasarkan pada konsep fardhu ain, fardhu kifayah, sunah dan seterusnya. Maka, sebelum menentukan bidang ilmu yang akan digeluti, semestinya setiap Muslim memahami terlebih dahulu konsep pemetaan ilmu dalam Islam. Dengan begitu, menjadi semakin kokoh ilmu yang dimilikinya karena dicari dengan didasari oleh pengetahuan akan posisi dan tingkat urgensinya dalam Islam.Di bagian penutup, beliau mengatakan bahwa kondisi umat sudah semakin mundur parah. Di sinilah nilai strategis pendidikan untuk mengembalikan kejayaan umat dengan mencetak kader-kader generasi pejuang. Ini juga yang dulu menjadi fokus kerja Imam Al-Ghazali dan ulama-ulama sezamannya saat berjuang mengembalikan ma’nawiyah umat yang sempat runtuh dan lebur di hadapan kekuatan-kekuatan eksternal. Usaha mereka meliputi dua hal:
- Melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah belah (tidak bersikap fanatisme golongan); dan
- Mengatasi penyakit-penyakit yang menggerogoti umat dari dalam.